Mengenai Saya

Foto saya
HAY TEMAN"TOLONG SIAPA AJA YG UDAH MEMBUKA BLOG INI TOLONG JANGAN MENTERTAWAKAN KARENA KAMI MASIH DALAM TAHAP PEMBELAJARAN

Selasa, 25 Januari 2011

Sebelum Kau Hadir
Hidupku hanyalah sebuah pokok kayu kering di sudut belakang rumah. Ada kehidupan pelan-pelan merajah di akar-akarnya. Namun begitu pelan dan tak menjanjikan apa-apa. Ada daun-daun kering hijau muda tumbuh di sela-selanya. Namun begitu penuh tanda tanya dan begitu mudah akan sirna terkena sinar mentari saja.
Aku hampir habis. Hampir tamat oleh semua gejolak irama hari yang lambat membunuhi ingin dan harapku. Aku gaib tanpa cita-cita dan harapan kecuali hanya ingin mempertahankan hidup saja. Kesunyian begitu ganjil menyelubungi sekitarku. Tanpa siapa-siapa. Tanpa apa-apa. Hidup abu-abu, hitam putih tak berwarna. Biasku habis termakan masa lalu tak terbayarkan.
Sebelum Kau Hadir
Bahasaku tak bersisa dalam basa-basi menata hati agar terus mampu menatapi hari. Ruangku tertelan kering aroma tengah hari yang tak pernah sudah menyajikan tekanan tak terbendung. Malamku usai dengan membodohi mimpi sendiri dengan berkata : “Aku tak butuh mimpi apa-apa.”
Aku hilang. Ya, aku hilang.
Sebelum kau hadir, aku pokok kayu yang hilang terlupakan.
Maka maaf
Jika kini, aku tak tahu bagaimana cara melewati hari-hariku tanpamu.
Maaf
tapi sungguh
kamu harus percaya
aku telah berusaha keras
untuk mengembalikan hatiku
dimana
ketika itu
kamu hanya sebuah cerita
yang jauh
dari
waktu yang sungguh irasional dapat dijadikan alasan
kenapa kamu menjadi sangat berharga.
tapi sampai detik ini
aku belum bisa
menganggapmu tak ada
-melupakanmu itu mustahil-
hingga
aku takut
benar-benar takut
kehilanganmu
(kumohon jangan pergi)
tapi tak perlu khawatir
beri aku waktu lagi
aku akan berusaha lebih keras
agar bisa
membuatmu kembali merasa nyaman
dengan keberadaanku
yang menjadikanmu
bukan sebagai siapa-siapa
bukan sebagai apa-apa
Sebelum Kau Hadir
Aku hilang
hilang rasa
hilang ingin
hilang cinta
hilang cita
kini aku merasa telah menemukannya
lewat kata keringmu
lewat sapa singkatmu
lewat adamu
Semoga nanti
Setelah aku benar bisa menempatkanmu
di tempat yang seharusnya
sama seperti yang lainnya
aku tidak akan
kehilangan semua itu kembali
tapi kini
kumohon
jangan pergi
beri aku waktu
lagi………….
kau tahu, ku rindu puisiku,
yang mengalirkan dendam ke pori-pori seluruh tubuhku.
Ku tahu, ku rindu kamu,
walau tak serindu aku ke puisiku.
Yang seringkali hadir di kala
aku rindu kamu.
Tapi tak lagi seperti kala itu,
yang tertoreh slalu benci.
Walau itu juga bukti rasa itu.
Yang hadir kini benar hanya rindu,
dan sedikit pilu.
Ku tahu, kau rindu puisiku.
Yang biasa kulayangkan padamu
di saat seperti ini.
Seperti desau angin
selalu hadir di sini
Kau tahu, kau rindu aku.
Melebihi rindumu pada puisiku.
Namun kau ingkar kata hatimu
Ku juga ingkari itu.
Karena rinduku rindumu
telah pernah menyatu,
kemudian berlalu.
Namun puisiku tentangku tentangmu malam ini
rindu, sangat rindu untuk kubuat baru dan berjudul rindu
yach, rindu yang pilu.
 
Pada akhirnya rindu itu menemu
di puisi-puisiku tentangmu
ada apa dengan semua hari tak lunas
ada kenapa dengan semua dendam tak sudah
semoga kau membacanya
rindu itu habis
Dahulu kala, terdapat sebuah negeri yang dipimpin oleh raja yang sangat adil dan bijaksana. Rakyatnya makmur dan tercukupi semua kebutuhannya. Tapi ada satu yang masih terasa kurang. Sang Raja belum dikaruniai keturunan. Setiap hari Raja dan permaisuri selalu berdoa agar dikaruniai seorang anak. Akhirnya, doa Raja dan permaisuri dikabulkan. Setelah 9 bulan mengandung, permaisuri melahirkan seorang anak wanita yang cantik. Raja sangat bahagia, ia mengadakan pesta dan mengundang kerajaan sahabat serta seluruh rakyatnya. Raja juga mengundang 7 penyihir baik untuk memberikan mantera baiknya.
“Jadilah engkau putri yang baik hati”, kata penyihir pertama. “Jadilah engkau putri yang cantik”, kata penyihir kedua. “Jadilah engkau putri yang jujur dan anggun”, kata penyihir ketiga. “Jadilah engkau putri yang pandai berdansa”, kata penyihir keempat. “Jadilah engkau putri yang panda menyanyi,” kata penyihir keenam. Sebelum penyihir ketujuh memberikan mantranya, tiba-tiba pintu istana terbuka. Sang penyihir jahat masuk sambil berteriak, “Mengapa aku tidak diundang ke pesta ini?”.
Penyihir terakhir yang belum sempat memberikan mantranya sempat bersembunyi dibalik tirai. “Karena aku tidak diundang, aku akan mengutuk anakmu. Penyihir tua yang jahat segera mendekati tempat tidur sang putri sambil berkata,”Sang putri akan mati tertusuk jarum pemintal benang, ha ha ha ha…..”. Si penyihir jahat segera pergi setelah mengeluarkan kutukannya. Baca entri selengkapnya »

sahabat

Persahabatan sejati layaknya sebuah kesehatan,
nilai dan manfaatnya tidak mudah dipahami
sampai kita kehilangannya.
Persahabatan itu
layaknya mutiara hidup yang pastinya
tak akan pernah terkikis asinnya air laut
sampai kapanpun jua.
Seorang teman
akan mendengarkan
apa yang akan Anda katakan,
namun teman sejati atau sahabat
bisa mendengar
apa yang mungkin tak Anda katakan.
Sahabat sejati bagaikan berlian,
sangat bernilai dan sulit ditemukan,
sedangkan teman yang buruk bagaikan daun kering,
bisa ditemukan di mana saja.
Saat berbicara dengan orang lain,
sahabatmu akan lebih suka membicarakan kebaikanmu,
dan bukan keburukanmu.
Sahabatmu akan selalu memberikan yang terbaik untukmu
meski mungkin sekarang dia tidak sedang di sampingmu

kania

Kania,
Semua adalah jalan
Semua adalah perjumpaan di sudut-sudut keheningan
di tiap malam terlarut yang kubujuk untuk menemanimu
Kania,
Kita adalah perjumpaan
lagi tentang semua simpang ruang sedih
yang pernah kau tumpahkan
di cangkir-cangkir rapuh
yang meretak dalam pilumu
andai engkau tak di sini:
“aku akan tetap menunggumu”
begitu aku.
Kania,
cinta ini bersulam dalam senyum di wajahmu
yang mencairkan bumi dalam genggam sela canda kita
tak lagu
tak puisi
tak ada bisa matikan kibas lamamu
hanya menunggu cerita usang yang bahkan
tak mengubah apa-apa
Kania,
demikian sapamu padaku selalu
bahkan telah berulang kali kukata…
“Aku bukan Kania”

cerpen

Mulai lagi menuliskan kerusuhan
Tentang bagaimana sebenarnya menjadi
baik
jahat
atau bukan sebagai apapun
Setelah sekian perjalanan,
putih, buram, silau,
parah dan bahan tertawaan
Sebenarnya tak ada yang perlu lagi dipertanyakan.
Telah cukup bukti untuk sekedar menentukan sikap
Ya… atau tidak
di sini atau pergi
penting atau tak berarti
ada atau bukan siapa-siapa
Tapi entahlah
Tanya
itu masih saja menghantui
masih saja mengikuti kemana pergi
di langit
di awan
dimanapun pandang terbentang
Aku sajakah yang demikian?
Hmmm….
Bahkan telah kini,
aku kehilangan alasan untuk meraih yang tak lagi menarik untuk kucoba capai
Mungkin tak ada waktu lagi….
Mungkin tak ada alasan lagi….
Mungkin tak ada apa-apa lagi yang tersisa….
24 Mei 2010-05-24

subuh itu

mataku teman, subuh ini aku terbangun dengan sebuah senyum di ujung bibirku
entah kenapa senyum itu ada di situ
gerangan apakah yang terjadi hingga aku tertidur dengan hiasan itu
dan terjaga masih mengenakannya…
hingga kemudian menatap cermin yang berdiri acuh di sampingku
aku terperangah
tak tahu harus berkata apa?
kilau…
benarkah?
setelah ratusan purnama aku kehilangannya
setelah pasrah kutitip dia pada satu bintang di atas sana
setelah kehabisan jedah aku mengharapnya
tiba-tiba aku membacanya subuh ini
dengan hangat
dengan cantik
dengan kerinduan tak terperi
hadir kembali dalam pantulan mataku di cermin ini
kilau…
benarkah?
aku bergidik.
Tuhan, gerangan kemanakah akan kusembunyikan kilau ini
dengan tampak nyatanya tak berani aku membuka mata dan menatap dunia
dengan pandang sayang tak sampai hati aku kehilangannya
dengan cahaya sempurna tak tahu aku harus menjawab apa pada mereka
yang telah tahu aku pernah kehilangan dia…
Tuhan, permainan kata apa yang bisa kususun untuk mendustakannya
mengingkari dia hadir tak bercela di mataku yang hampa dan tanpa rasa
beratus hari sebelumnya
menipu diri dan semua orang yang pasti kan lantas mengenalinya
mencari alasan mengosongkan imaji dan hati untuk menganggapnya tak ada
kilau…
subuh ini,
benarkah?
aku bergidik
ngeri menginsyafi bahwa kilau itu hanya akan ada sedetik ini lalu pergi lagi
menterjemah bahasa waktu yang pasti kan merampasnya kembali
membaca satu persatu dari seribu alasan yang akan dengan sangat mudahnya
membuatku menangis lagi
kilau…
ii
stiletto
ya, kilau yang sama di ujung stiletto yang kusimpan rapi
dalam gulungan kisah catatanmu yang sunyi
pagi ini menatapku di ujungnya yang berkilau
tanganku bergetar
hatiku pias dan sadar
ini sudah saatnya
waktu yang dikisahkan takdir
bahwa dada kiriku adalah persemayamannya yang terakhir
ku lihat engkau menatapku bisu di pintu itu
masih sama dengan tatapmu yang dulu
aku mengangguk
ini janjiku
stiletto itu kubawa ke sana
sakit
perih
tak terperi
perlahan aku pergi
tak perlu khawatir teman
tak akan ada ceceran darah
ceceran air mata
ini rahasia kita
tenang saja
tak akan ada yang mengira
subuh ini
aku telah mati
di tanganmu…

hujan itu

Dua orang perempuan tampak menembus hujan dan pekat malam. Padahal badai tentu tak mampu ditopang hanya dengan sebuah payung usang yang berkali-kali terlipat diterjang angin. Keduanya tak punya pilihan lain! Keduanya harus tetap menembus badai itu!
Sekarang sudah jam dua dini hari, tak ada satupun kendaraan bermotor yang melintas di jalan sepi yang mereka tempuh. Kalaupun ada, tak mungkin juga mereka menumpanginya. Tak ada sepeser uangpun dalam saku baju mereka yang lusuh.
Perempuan pertama. Seseorang yang renta namun terlihat masih perkasa matanya. Di situ keteguhan terasa. Di situ tekad tersimpan. Untuk sebuah perjuangan yang bernama : hidup! Dia harus tetap berjuang jika ingin anak cucunya tak mati kelaparan. Tapi, seberapa tegarnya dia, malam ini di sudut matanya tak henti menetes air mata yang tak beda dengan geraian hujan di seluruh wajahnya.
Ya, dia berjalan sambil menangis. Tadi sebelum berangkat menembus lebatnya hujan, dia sempat mampir di rumah majikannya. Selama ini dia mengabdikan hampir separuh hidupnya dengan bekerja di rumah majikan tersebut. Malam itu, karena ada sesuatu yang mendesak, dia berharap sang majikan sudi kiranya meminjamkan uang walau sedikit. Nanti bisa dipotong dengan gaji bulan depan, demikian dia memohon. Tapi jangankan uang yang dia terima, malah sebuah bentakan dan perkataan yang melukainya, “Sudah kalau kamu minta uang sekarang, lebih baik mulai besok kamu berhenti bekerja saja!”
Seumur hidupnya perempuan ini tidak pernah menangis. Tidak ketika ditinggalkan oleh suaminya ketika anak-anak mereka masih kecil-kecil, tidak oleh segala macam kepahitan yang mendera hidupnya yang miskin. Tapi malam ini dia menangis. Tuhan, ucapnya diantara deras hujan. tidakkah majikanku tidak mempunyai mata dan hati menyaksikan keadaan kami ini?
Perempuan yang berjalan di sebelahnya juga berwajah sembab. Bukan karena menangis, tapi menahan sakit dan nyeri yang seperti tak bisa ditunggu lagi. Menangis. Akh, dia juga tak terlatih untuk itu. Sejak kecil hidup dalam kesusahan dengan sang ibu, tanpa bapak, tanpa saudara, apalagikah yang bisa membuatnya menangis? Suami? Masuk bui hampir setahun yang lalu. Mabuk dan berkelahi dengan sesama pemabuk. Meninggalkannya dengan seorang anak balita yang baru saja menginjak usia satu tahun dan perut yang juga sedang mengandung.
Dan malam ini, hujan ini, seperti tak diindahkan oleh sang jabang bayi untuk menjengukkan wajahnya ke bumi yang susah ini. Perempuan itu telah mati rasa, seperti juga jari-jarinya yang telah kedinginan. Kemanakah sang ibu tercinta akan membawa mereka? Rumah sakit mana yang mau menerima pasien tanpa pakaian bayi sepotong pun? Tanpa baju ganti sehelai pun? Tanpa uang sepeser pun? Tapi dia tak pernah menyangsikan ibunya yang tua itu. Pasti ada arah yang sedang dituju sang bunda dekil, ringkih, namun berhati peri itu.
Akhirnya, setelah perjalanan yang cukup jauh, mereka menepi di sebuah bangunan. Perempuan itu tak tahan lagi. Perempuan itu tak sanggup lagi. Darah telah berceceran di kedua belah pahanya. Ingin dia berteriak, ingin dia bertanya pada Tuhannya, pentingkah hidup untuk terus dijalani? Perlukah memahami ini sebagai cobaan dan cinta kasih? Dia telah mati rasa dan hilang harapan. Wajahnya terkulai di pelukan sang Bunda. Air mata ibunya berbaur dengan hujan menghabisi rasa dalam hati keduanya. Bisu, diam, tak ada lagi pertanyaan.
Kisah di atas tak sekedar karanganku semata, tapi itulah yang dialami pasienku malam tadi. Persalinan dibalut kemiskinan, suami dalam bui, tak ada uang, apalagi perlengkapan bayi. Untuk hidup sehari-hari mereka harus bergantung dari jerih payah ibunya yang telah renta dengan menjadi pembantu rumah tangga. Akh, berapalah yang bisa didapatkan tubuh lemah dan lelah itu. Hanya matanya yang tangguh yang membuatku yakin mereka akan terus bertahan ke depan.
Alhamdullillah Tuhan membawa langkah mereka ke Puskesmas kami kemarin. Ibu itu melahirkan dengan selamat. Teman-teman sesama petugas kesehatan juga bahu-membahu memenuhi kebutuhan mereka walau seadanya. Setidaknya ada susu bayi dan kain penutup tubuh mereka yang dingin.
Aku menangis. Aku menangis mendengar kisah mereka, melihat tubuh basah mereka, melihat cinta ibu tua itu. Ya Allah, betapa aku jauh lebih beruntung dari mereka. Betapa hidup ini terlihat begitu sulit di jejak mereka yang tersaput hujan. Maafkan aku ya Allah, terkadang lena dan menyisakan sekian perdebatan tentang apa yang telah Engkau limpahkan.
Dan Ya Allah, Berikan jenak kebahagiaan di langkah mereka juga. Berikan keringanan di badai tak henti dalam hari mereka pula… Izinkan aku menangis di pagimu yang buta, menangisi karunia yang kau hadirkan di hari-hariku yang tak juga terlalu mudah. Tapi di pagi buta ini, aku belajar lagi. Aku belajar untuk kesekian kali, hidup memang tak akan pernah lurus dan datar, namun demikian, sesulit apapun, tetaplah berjalan,… tetaplah berusaha. Karena pasti ada jawabann dari semuanya…. Dia tak akan pergi kemana, selalu mengiringi langkah kita.

wanita menangis

Ketika wanita menangis,
itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan senjata terampuhnya,
melainkan justru berarti dia sedang mengeluarkan senjata terakhirnya.
Ketika wanita menangis,
itu bukan berarti dia tidak berusaha menahannya,
melainkan karena pertahanannya sudah tak mampu lagi membendung air matanya.
Ketika wanita menangis,
itu bukan karena dia ingin terlihat lemah,
melainkan karena dia sudah tidak sanggup berpura-pura kuat.
mengapa wanita menangis?
karena wanita juga seorang manusia yang memiliki perasaan.
kami tidak pernah menuntut banyak kecuali pengertian.
kadang kami terlihat manja, banyak maunya, atau mungkin di mata kaum pria seperti kalian, kami ini hanyalah makhluk yang menyusahkan. tapi ketahuilah, kami masih tetap berdiri tegar meski kalian telah menghantam kami dengan banyak rasa sakit yang mendera, kami masih tetap seperti orang yang sama ketika kalian berusaha pergi dan menghindar lantas datang kembali membawa asa, meski kami terlihat tidak peduli, meski kami terlihat mengacuhkan, tapi percayalah jauh dilubuk hati kami, kami punya sejuta doa untuk kalian. karena kita ditakdirkan untuk berpasangan, tidak untuk menjalani kesendirian.
kami memang selalu tampak berlebihan dalam mengeksplorasi perasaan, itulah mengapa anak selalu terlahir dari rahim kami kaum wanita. karena Tuhan ciptakan ruang luas di bawah hati kami untuk tempat bernaungnya hasil-hasil cinta kita. karena ya karena lagi-lagi kami ini wanita, dimana Tuhan menakdirkan kami sebagai makluk yang akan selalu terlihat lemah diluar tapi kuat didalamnya. maka hargailah keberadaan kami, sekecil apapun artinya dalam hidup kalian.

korupsi



KORUPSI, PEJABAT, DAN MEGALOMANIA
Oleh: Wardjito Soeharso
Korupsi adalah tematik berita paling panas sepanjang tahun 2009 lalu. Hampir semua media massa menyoroti secara khusus berita-berita tentang korupsi. Dan memang korupsi melibatkan penguasa negara dari level atas sampai yang terbawah. Puncak berita tentang korupsi tahun lalu adalah kasus yang melatar belakangi “cicak lawan buaya”, Bibit-Chandra, dan skandal Bank Century, yang sampai hari-hari terakhir ini masih tetap menjadi topik utama berita media massa.
Korupsi memang tidak lepas dari penguasa. Kekuasaan itu cenderung korup, power tends to corrupt. Kita di Indonesia sudah punya banyak contoh. Presiden korupsi, ada, walau sudah almarhum (Soeharto). Menteri korupsi, banyak yang sudah diadili dan masuk bui. Gubernur korupsi, banyak yang sudah terbukti dan yang masih antri. Bupati/walikota korupsi, menurut survey 40% dari bupati/walikota di Indonesia terindikasi korupsi. Begitu juga dengan para wakil rakyat, penegak hukum, birokrasi, semua seolah berlomba ikut terlibat dengan korupsi.
Sejujurnya, nampaknya sangat sulit mencari pejabat yang tidak korupsi di negeri ini. Gaya hidup sebagian besar mereka memperlihatkan kemewahan yang secara kasat mata tidak sebanding dengan penghasilan resmi mereka. Meskipun demikian, mereka berani tampil secara terbuka. Semua itu karena masyarakat melihat korupsi bukan suatu hal yang aneh lagi. Tata nilai masyarakat tentang makna keberhasilan seseorang telah jauh berubah. Keberhasilan sekarang ini dilihat dari sudut pandang materialistik. Orang disebut sukses apabila punya rumah mewah, mobil mewah, gaya hidup mewah. Sedang orang yang hidup sederhana, apalagi miskin, selalu saja disebut sebagai orang yang gagal.
Bisa dimengerti apabila kemudian orang cenderung berusaha sekuat tenaga untuk dapat memperlihatkan kesuksesan itu dengan segala bentuk kemewahan. Di mana-mana yang namanya pejabat cenderung berusaha tampil mewah. Celakanya, masyarakat sudah salah kaprah. Pejabat yang tampil mewah disebut sebagai pejabat yang sukses. Padahal, masyarakat tahu persis gaji pejabat tidak mungkin dapat dipakai untuk hidup mewah. Apologi yang berlaku kemudian adalah, pejabat dapat hidup mewah karena banyak “pat gulipatnya”. Dan pat gulipat pejabat ini dipercaya masyarakat justru jauh lebih besar dari gaji bulanannya. Dari sini, jelas kiranya, persepsi masyarakat tentang pejabat korupsi. Masyarakat tahu belaka kemewahan itu diperoleh dari perilaku pat gulipat yang nota bene adalah korupsi, namun masyarakat tidak peduli. Karena masyarakat tidak peduli, para pejabat pun tidak lagi punya perasaan risih, tidak takut dicurigai kemewahannya diperoleh dari korupsi. Semakin mewah penampilan seorang pejabat, semakin tinggi wibawanya dan semakin banyak dihormati. Sebaliknya, bila ada pejabat yang tampil seadanya, sederhana, tidak punya apa-apa, malah dilecehkan, diejek sebagai pejabat goblok yang tidak mampu memanfaatkan kesempatan.
Pejabat itu manja.
Persepsi salah kaprah itu tentu tidak muncul begitu saja. Mengapa pejabat selalu ingin tampil serba mewah, sepertinya karena memang pemerintah sendiri cenderung memanjakan pejabatnya. Pejabat banyak diberi fasilitas yang serba mewah untuk menaikkan pamor wibawanya , sehingga secara psikis seorang pejabat memang seperti sengaja dibentuk menjadi sosok yang harus tampil mewah agar berwibawa.
Lihat saja, ruang kerja pejabat selalu luas dengan kelengkapan furniture berselera. Meja kerjanya pun kebanyakan meja biro besar, lebar, dengan kursi duduk empuk bersandaran tinggi. Papan nama dan jabatan dari kayu berukir bertengger di atas meja kerja, yang akan selalu dibaca oleh siapa saja yang menghadap kepadanya. Semua keperluannya dilayani dengan baik oleh stafnya, dari yang sangat pribadi seperti makan minum sampai urusan dinas seperti surat menyurat. Ditambah bila pergi ke mana saja disediakan mobil yang juga mewah. Dapat dibayangkan, suasana psikis seperti apa yang muncul dalam diri para pejabat itu. Semua kemewahan itu begitu enak dan menyenangkan, malah melenakan. Sudah tertanam dalam mindset mereka, jabatan identik dengan kemewahan, dan kemewahan itu sendiri selalu melekat uang bersamanya. Maka, wajar saja bila mereka kemudian saling berlomba untuk meraih jabatan yang lebih tinggi karena mereka sangat paham, semakin tinggi jabatan akan memberikan fasilitas kemewahan semakin tinggi juga.
Megalomania! Itulah sebenarnya yang sedang terjadi pada diri para pejabat di negeri ini. Sebuah sindroma psikologis bagi seseorang yang selalu ingin kelihatan besar, tinggi, berkuasa, mewah, dan sejenisnya. Pokoknya semua harus serba “wah”. Sindroma megalomania ini bahkan terbawa dalam pola kerja. Yang muncul kemudian adalah berbagai program yang berorientasi pada yang serba “ter”, seperti membangun gedung tertinggi, terbesar, termegah; membuat jembatan terpanjang, terkokoh; membangun pasar atau taman rekreasi terlengkap, termodern; memasang videotrone terbanyak, tercanggih; dan seabreg kerja lain yang semuanya cenderung berkonotasi mega (besar). Para pejabat itu dengan bangganya akan memamerkan ke mana saja karya-karya yang serba ter itu.
Sebaliknya, untuk kerja yang tidak memiliki nilai ter atau mega, mereka menjadi seperti malas mengerjakannya. Lihat saja program bantuan langsung tunai (BLT), bantuan beras untuk si miskin (raskin), jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), penataan pedagang kaki lima (PKL), dan masih banyak kerja populis lainnya, selalu saja terkesan tidak serius, rumit dan berbelit dengan masalah.
Semua itu artinya cuma satu: kerja bernilai mega memberikan kebanggaan, applaus, kepuasan, dan tentu saja fee atau gratifikasi berupa uang; sementara kerja populis mengurusi rakyat adalah kerja bakti, yang tidak memberikan apa-apa kecuali caci maki kalau rakyat tersakiti, atau sekedar simpati dan apresiasi kalau rakyat menyukai.
Kondisi fisik dan psikis lingkungan kerja seperti itu tanpa sadar kemudian terbawa ke luar. Kalau di kantor ruang kerjanya luas, meja kerjanya besar, kursi duduknya tinggi, mobilnya mewah, semua itu sepertinya harus pula diikuti dengan apa yang ada di luar kantornya. Inilah jawaban mengapa para pejabat kemudian sangat haus dengan tanah yang luas, rumah yang besar dan megah, mobil mahal dan mewah, dan berbagai status terhormat dalam berbagai organisasi non-dinas lainnya.
Jadi tidak perlu heran apabila dari hari ke hari semakin banyak saja pejabat yang terbukti melakukan korupsi. Sindroma megalomania menuntut pemenuhan kebutuhan yang akan terus bertambah dan bertambah, tidak pernah tahu sampai di mana batas akhirnya. Dan, memang itulah faktanya: korupsi karena dorongan kebutuhan persentasenya mencapai 85% dari total kasus korupsi yang terjadi (KPK: 2005).
Kalau fakta obyektifnya seperti ini, mestinya pemerintah tidak perlu lagi memanjakan pejabatnya. Bisa saja dibuat aturan, spesifikasi gedung sederhana untuk kantor-kantor pemerintah. Seperti apa ruang kerja, kelengkapan mebelair, dan kursi duduk menteri, gubernur, bupati/walikota, pejabat eselon 1, 2, 3, dan seterusnya. Mobil seperti apa yang mencerminkan kesederhanaan untuk menteri, gubernur, bupati/walikota, pejabat eselon, dan seterusnya. Dengan aturan yang jelas, tidak akan ada lagi perlombaan pembangunan gedung kantor yang megah, persaingan pemberian fasilitas mobil yang serba mewah. Demikian pula, pembangunan berbagai mega proyek berkonotasi ter yang hanya memberikan kebanggaan semu, dapat dicegah dan dihindari.
Dengan tidak memanjakan pejabatnya, pemerintah tentu dapat menghemat anggaran cukup signifikan. Anggaran untuk segala kemewahan yang serba mega dan ter itu tentu akan lebih bermanfaat untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Yang lebih penting lagi, pejabat pemerintah jadi tampil lebih sederhana, dekat dengan suasana batin rakyat, jauh dari sindroma megalomania, yang membuat mereka selalu haus dengan yang serba besar, hebat, dan wah.
Kiranya itulah sesungguhnya mimpi seluruh rakyat Indonesia.

waktu itu

melekat dalam hadirmu siang itu
membuatku terpana dan bertanya
“ ada apa?”
masih ada rasa itu
“dimana?”
di hatimu yang tanpa kamu sadari sudah kamu rasakan
benarkah? padahal luas angkasa tak terlihat tepinya
kamu punya arahnya?
“ biarkan itu menoreh dalam rasa dan teringat dalam bayangan walau hanya sedikit”
melepasnya bahkan tak pernah
dalam sebuah perjalanan
itu cerita yang tak bisa pergi
membuatku menelusuri jejakmu sekian jauh
di semua orang yang lewat kutanya saja
mana kamu
pada setiap kunang-kunang dan lampu
kuceritakan kisahku
tentang kamu
entah dimana waktu itu
tapi
aku tak pernah melihat bayangmu
perlahan terkikis jarak dan salam pengantar kenangan
meski tak hilang benar
wajahmu yang asing dan hilang waktu
“ ketika suara malam meredup, tak ada sapa darinya.”
duhai,
bintang yang mana yang jadi petunjuk arahmu tentang kedalaman hatiku?
bolehkah aku meminjamnya untuk menuntun ke dalam
samudra kata dan pikirmu?
“ hanya aku dan dia yang tahu”
benarkah?
tak terukur dalamnya
lautan itu misteri abadi buat angkasa di atas sana
“ kesunyian terasa”
aku hanya mau kotak itu, cintanya buatmu saja…
aku takut telah hilang rasa
di dunia yang tak sama
sehari saja jejakmu tak teraba
aku bertanya-tanya
apa kamu baik-baik saja
sekotak cinta
aku hanya mau cinta itu, kotaknya buatmu saja…
BY ARPINGAUL.BLOGSPOT.COM/

aku mencintaimu


Aku mencintaimu bersama langit
masih sama seperti ketika untuk pertama kali memandangmu di garis batas
Khatulistiwa yang panas.
Masih sama seperti
seberkas sinar
yang menyentuhku
menepuk pelan pundakku
dan menuntunku bersama baginda waktu
Aku mencintaimu
tapi tak bisa
menghapus lukisan kutukan dewa-dewa
di tapakku yang keras
tentang arah perjalanan yang berbeda
tentang liku tanjakan yang tak searah
tentang musim-musim tak sama
Langit mencintaiku bersamamu
tapi tak bisa
menuntun kita bersua
di kaki langitnya khatulistiwa
Tak ingin langit menangis
hanya karena kita dan cinta
dekap aku di langitmu saja
Karena cinta
hanya milik alloh subhannalloh......

enta apa


Entah apa
aku menjamu pengap di ruang hati yang indah
memang mendung, tapi bukan itu
ada yang salah
sesuatu yang menjalari, menyerangku dengan
niscaya berwarna jingga
ada yang salah
mengetuki dinding hati merah muda dan pura-pura
memberiku pilihan gundah yang semakin membuatku
merasa bersalah
benar aku salah, tapi apa?
tulisku: Resah
masih resah dan semakin gundah
ada di dalam sini
tak teraba namun terasa
berkelana dalam jiwa dan ingin segera kumaknai sempurna
akh, entah apa.
memang mendung, tapi resahku itu
lebih bergairah dari sekedar menunggu hujan turun
di sini,
hati yang lebih murung dari sekedar mendung tak berujung

ceritaku

Rumah tua, yang beratap bocor dan berdinding lapuk bag. I

Ini bukan puisi, cerpen, atau kisah fiktif. Ini ceritaku. Catatan kecilku yang tak lusuh oleh waktu. Babak dalam kehidupanku yang memang tak pernah mudah. Entahlah. Mungkinkah aku telahir di zaman yang salah. Tapi mensyukuri hari itu dan juga kini. Aku bersyukur bisa menumpang di situ.
Rumah tua, memang begitulah penampakannya. Bukan saja karena rupanya yang memang berantakan, tapi usianya juga memang telah lanjut termakan waktu. Dikisahkan oleh nenekku tersayang (alm). Rumah itu dipindahkan dari satu kampung ke situ. Dijunjung dan di arak beramai-ramai. Aku berkesempatan merajut cinta dan harapan di rumah dan tanah yang bukan milikku.
Pertama kali menampakkan bangunan itu, aku yang masih berusia dua belas tahun, merasa senang bukan kepalang. Hmmm… bagus. Kalau tinggal di rumah tersebut, pasti serasa tidur di rimba saja. Angin malam akan menyelusup lewat dindingnya yang meregang, aku bahkan bisa mengintip orang lewat di halaman lewat lubang-lubang di dinding yang telah lembab tersebut. Dan hei… lewat atap sengnya yang juga berlubang dan berkarat, aku bahkan bisa mengintip bintang-bintang. Sungguh bangunan yang sempurna buatku yang terobsesi dengan cerita petualangan.
Wah, ada lagi…Ada banyak laba-laba bersarang di dindingnya. Merajut rumah mereka dengan benang-benang yang serupa lukisan saja tampaknya. Sungguh, takkan bosan aku mengamati hari di sini.
Tak cuma sampai di situ. Lantainya tanah saja. Haha, bisa bikin tenda dalam rumah. Bisa bikin lubang untuk bermain kelereng. Bahkan bisa menumpahkan air tanpa harus takut mengotori lantai. Sungguh rumah yang kuimpikan!
Rumah tua yang berdinding bocor beratap lapuk. Halamannya luas sekali. Aku bagaikan tarzan yang dilepaskan ke habitatnya. Bergayut ke sana sini, segala macam pohon ada di sini. Beberapa ekor kera juga terlihat begelantungan sana-sini. Akh, apa bedanya aku dengan kera. Tokh kami sama saja tinggal di alam terbuka.
Semak, duri, ular, lintah, jadi pemandangan sehari-hari.
Bersyukur ada Ayah yang baik hati dan pantang menyerah, mengubah semak menjadi tanah lapang untuk bermain. Mengusir duri dan menggantinya menjadi kebun yang menghasilkan.
Bersyukur ada Mama yang baik hati dan pantang menyerah. Menempel dinding yang renggang dengan potongan kalender tua, hingga angin sempat permisi sebelum lewat. Mengemis kepada saudara-saudara tersayang hingga diberi uang untuk mengganti atap yang bocor dengan atap bekas yang tak berlubang.
Bersyukur ada adik yang baik hati dan pantang menyerah. Tak pernah menyesali kehidupan dan bergelantung bersama di pohon rambutan. Mengubah keterbatasan menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Beruntung ada teman-teman. Yang tak pernah menertawakan ketakberadaan. Ikut menikmati alam terbuka.
Sungguh aku sangat beruntung.
Rumah tua yang beratap bocor dan berdinding lapuk. Disanalah aku dibesarkan, bertahun-tahun yang tak terlupakan.
Bangunan tua itu terletak di tepi jalan. Dengan halaman luas, kebun, sawah, kolam, dan bukit kecil. Tempat petualangan dan khayal-khayalku yang terbangun dengan setiap langkahku yang tak beralas kaki. Berlompatan di jerami yang wangi karena baru selesai panen padi. Mengangkat air untuk menyiram kebun cabe yang mulai kekeringan. Berlompatan di bukit kecil berlari ke arah kolam lalu berenang dengan ikan-ikan. Akh, sungguh tak kusayangkan aku harus tinggal di bangunan tua.
Bangunan tua. Ini sejarah tentang kehidupanku yang tiada dua. Rindu yang tak terbayarkan di kala senja. Cerita-cerita sendu, lelah, dan dendam yang tak sudah. Ada terkubur di tiang-tiangnya yang telah goyah. Suatu saat aku ingin mengisahkannya hingga sudah.
Rumah tua, yang beratap bocor dan berdinding lapuk. Ini bukan puisi, cerpen, atau kisah fiktif. Ini ceritaku. Catatan kecilku yang tak lusuh oleh waktu. Babak dalam kehidupanku yang memang tak pernah mudah. Aku mensyukurinya.

kau menatapku


Kau: Menatapku dan berkata
ini waktu yang tak sama
antara kita, tak ada apa-apa lagi
selain,
“aku ingin bertemu
berperan seakan kita hanya sahabat
lama, yang ingin sekedar bersua
sebentar saja
bertukar sapa
kemudian semua akan
seperti tak pernah terjadi apa-apa”

Kau: Hadir dengan didahului sebuah tanya
bolehkah aku bertamu di hidupmu
di hatimu
di kenanganmu yang kau lipat rapat
dalam belahan alam bawah sadarmu yang jauh
“percayalah tak ada yang istimewa
hanya perbincangan manis tentang
soal-soal tipis, cerita dan kisah basa-basi.”

Kau: Ringan berucap tentang
semak rasa yang kau semai
di tanah basah lapisan terbawah
yang telah tertimbun daun-daun jatuh
ilalang-ilalang penuh
masih ada tempat di hatiku atas namamu
“bagaimana aku bisa bunuh itu
sementara pada musimku berkelana
mencumbumu di balik rerimbunan angan itu.”

Kau: Bertandang membawa perih
yang tak kunjung mati di hati ini
bersalam hangat kemudian sebelum pergi berucap lirih
seakan sedih
“terima kasih atas hari ini
bersuamu membuatku menyadari
ada yang salah dengan perjumpaan ini
aku tak akan menemuimu lagi.”

Aku: Tersenyum mengemas semua kenangan dan ucapmu hari ini
dalam selembar kertas merah hati
melipatnya rapat
dan menambah sedikit lagi tulisan di situ
“Selalu, semua hanya tentang dirimu, perasaanmu, hidupmu…
Pernahkah sekali saja kau berpikir tentang hatiku?”
Kertas merah hati kurekat indah
Dan berakhir di tempat pembuangan sampah
seperti yang kau minta
__________________________________________